Parkir Liar: Bisnis Kecil atau Sindikat Besar?

BANGSAHEBAT.COM - Di kota-kota besar Indonesia, parkir liar jadi masalah klasik yang tak pernah selesai. Dari pasar tradisional sampai mal modern, warga sering terpaksa bayar tarif parkir yang lebih mahal daripada harga makanan yang dibeli. 

Fenomena ini memicu pertanyaan: apakah parkir liar hanya sekadar usaha kecil untuk bertahan hidup, atau sudah jadi bagian dari sindikat besar yang sulit disentuh hukum? Dialog RBR kali ini akan mengulik dengan gaya khas mereka.

Dialog RBR

Rama:
"Aneh banget, Bon, aku kemarin beli nasi kucing Rp5.000, eh parkirnya Rp10.000. Masa parkir lebih mahal dari makanannya?"

Bono:
"Itulah, Ram. Parkir liar itu bukan sekadar urusan tukang parkir pegang peluit. Ada struktur ekonomi yang mengalir ke belakang. Kadang ada oknum yang lindungi, kadang malah masuk ke jaringan. Jadi bukan sekadar 'uang receh'."

Ranti:
"Eh, tapi kenapa sih kita nggak bikin parkir gratis aja terus diatur lewat aplikasi digital? Kayak masuk, scan QR, langsung tercatat. Jadi nggak ada yang bisa 'ngetem' di jalan dan tarik uang sembarangan."

Rama:
"Setuju, Ran. Tapi kan ada alasan mereka cari makan juga. Aku kadang kasihan lihat tukang parkir yang tua-tua."

Bono:
"Betul, Ram. Ada sisi kemanusiaannya. Tapi kalau sudah jadi sistem yang merugikan masyarakat, ya harus ada reformasi. Pemerintah bisa kasih pekerjaan lain yang lebih layak, dan parkir harus dikelola transparan, bukan jadi ladang pungli."

Ranti:
"Hahaha, jadi solusinya: parkir gratis, digital, dan semua tukang parkir dialihkan jadi influencer parkir? 'Ingat guys, parkir di hati, jangan di trotoar!'"

Rama & Bono:
"Hadeeeh, Ran…"

Fenomena parkir liar di Indonesia memperlihatkan dua sisi: di satu sisi ada realitas orang kecil yang mencari nafkah, di sisi lain ada potensi jaringan besar yang menguasai lahan parkir. Solusinya perlu kombinasi: teknologi digital, regulasi tegas, dan penyediaan pekerjaan alternatif bagi tukang parkir.