Ketika Janji Politik Jadi Koleksi di Lemari

BANGSAHEBAT.COM - Janji politik itu ibarat pakaian baru. Dipamerkan di awal, warnanya mencolok, semua orang terpukau. Tapi setelah pemilu lewat, baju itu seringkali dilipat rapi, dimasukkan ke lemari, dan dilupakan. Rakyat pun hanya bisa melihat dari jauh, mengingat-ingat indahnya janji yang dulu pernah ditawarkan.

Fenomena ini bukan sekali dua kali terjadi. Setiap musim politik, janji-janji selalu bermunculan: pendidikan gratis, lapangan kerja melimpah, harga bahan pokok stabil, dan segala bentuk kesejahteraan yang indahnya melebihi iklan deterjen. Tapi setelah terpilih, realitas tidak seindah brosur kampanye. Yang dijanjikan jadi semacam koleksi, bukan kewajiban.

Padahal, janji politik itu bukan sekadar kata-kata untuk memikat hati rakyat. Ia adalah beban moral. Ia adalah kontrak yang tidak ditulis, tapi dipercayai. Dan di situlah masalahnya: banyak yang pandai menjanjikan, tapi tidak banyak yang siap menanggung konsekuensi dari janji itu.

Kalau terus begini, rakyat akan lelah. Kepercayaan bisa terkikis, bahkan hilang sama sekali. Demokrasi pun akan berubah jadi sekadar ritual lima tahunan: memilih, menunggu kecewa, lalu mengulanginya lagi.

Sudah saatnya janji politik tidak diperlakukan sebagai koleksi di lemari, melainkan pakaian sehari-hari yang dipakai dengan penuh tanggung jawab. Biar kusut, biar kena noda, tapi benar-benar dipakai untuk bekerja. Karena yang rakyat butuhkan bukan pameran busana, tapi kerja nyata yang bisa dirasakan.

Rakyat bukan manekin. Mereka bukan sekadar penonton dari peragaan busana janji-janji. Mereka adalah pemilik sah dari setiap janji yang pernah diucapkan. Maka, siapapun yang berani berjanji, seharusnya juga berani menepati.

Karena dalam politik, janji yang dilupakan bukan hanya pakaian di lemari—tapi luka di hati rakyat.