Demo, Damai, dan Dilema: Suara Jalanan yang Sering Salah Dimengerti

BANGSAHEBAT.COM - Demo itu sering dipandang sebagai keributan. Jalanan macet, suara toa memekakkan telinga, dan kadang ada adegan dorong-dorongan. Tapi kalau mau jujur, demo bukan sekadar marah-marah. Demo adalah bahasa cinta rakyat pada negaranya—cinta yang kadang diucapkan dengan cara paling keras, karena kalau dibisikkan, siapa yang mau dengar?

Sayangnya, stigma negatif sering melekat pada demo. Seolah-olah setiap orang yang turun ke jalan itu hanya mau bikin rusuh. Padahal, di balik spanduk dan teriakan, ada rasa kecewa, ada rasa sayang, ada keresahan yang tak lagi bisa ditampung di ruang obrolan warung kopi.

Kalau ditarik ke psikologi massa, demo adalah luapan kolektif dari kegelisahan. Manusia itu butuh cara untuk menyalurkan frustrasi, apalagi kalau merasa diabaikan. Demo jadi ruang bersama untuk berkata: “Hei, kami ada! Kami juga bagian dari negeri ini!”

Humornya begini: demo itu ibarat pasangan ngambek. Kalau dibiarkan tanpa didengar, siap-siap digigit sampai nyut-nyutan. Jadi bukan salah ngambeknya, tapi salah pasangannya yang pura-pura tidak peduli.

Masalahnya, kalau demo selalu ditanggapi dengan stigma negatif, lama-lama rakyat bisa merasa percuma bersuara. Dan ketika suara rakyat tak lagi dipercaya, di situlah bahaya demokrasi. Sebab demokrasi itu berdiri di atas dengar-mendengar, bukan di atas diam-diaman.

Jadi, mari kita lihat demo dengan lebih jernih. Demo bisa damai, bisa penuh cinta, selama yang dihadapi juga mau membuka telinga. Karena suara jalanan bukan ancaman, tapi pengingat bahwa rakyat masih peduli. Justru yang perlu dikhawatirkan adalah saat rakyat sudah berhenti turun ke jalan—itu artinya mereka sudah berhenti berharap.

Karena bangsa yang sehat bukan bangsa yang sunyi, tapi bangsa yang berani mendengar, meski suara itu datang dari jalanan.