BANGSAHEBAT.COM - Di zaman serba digital ini, hampir semua kejadian diabadikan jadi konten. Bahkan momen-momen genting seperti kecelakaan, orang sakit, hingga fenomena spiritual pun direkam, diviralkan, dan dipermainkan algoritma. Dialog RBR kali ini membahas: apakah kita masih punya empati, atau semua sudah berubah jadi viewers and likes oriented?
🗣️ RAMA:
Bon, kamu lihat nggak video yang orang kesurupan direkam empat kamera, dari berbagai angle? Satu pakai filter dramatis, satu pakai backsound horor.
🟫 BONO:
Lihat. Dan yang paling absurd itu... ada opening dulu: “Assalamualaikum gaes, kali ini kita nemuin kejadian mistis di kampung sebelah.” Lha wong itu orang lagi kejang!
🟪 RANTI:
Lho… mungkin biar orang lain bisa ambil pelajaran? Kan banyak yang penasaran sama hal-hal spiritual…
🟫 BONO:
Pelajaran opo, TikTok filter? Sekarang semua pengen jadi kreator, tapi lupa kalau yang direkam itu nyawa, perasaan, bahkan penderitaan orang.
🗣️ RAMA:
Aku kadang mikir... nanti kalau kiamat, jangan-jangan ada yang sempet selfie dulu.
“Guys, langit udah kebuka, ini vibe-nya bener-bener akhir zaman. Jangan lupa like & follow ya.”
🟪 RANTI:
Wah, serem mas... tapi lucu juga sih. Eh tapi ya ya… jadi nggak tahu lagi mana yang bener-bener kejadian, mana yang settingan.
🟫 BONO:
Itu dia! Batas empati dan entertainment sekarang tipis banget.
Mestinya, kita itu belajar ngelihat sesuatu pakai hati dulu, bukan langsung mikir angle kamera.
🗣️ RAMA:
Jadi intinya, jangan sampai hidup ini cuma jadi tontonan. Kita bukan figuran buat algoritma.
🟪 RANTI:
Iya ya... kadang yang butuh ditolong malah jadi thumbnail.
Fenomena masyarakat yang lebih cepat merekam daripada menolong menunjukkan kemunduran empati di era digital. RBR sepakat: konten boleh kreatif, tapi jangan sampai nurani dikorbankan demi algoritma.
Komentar0
Pastikan Selalu Berkomentar Yang Baik, Tidak Menyinggung Ras, Suku, Agama & Rasis