Demo, Rakyat, dan Sebuah Cermin Bangsa

BANGSAHEBAT.COM - Kalau jalanan sudah ramai oleh demo, itu artinya ada suara rakyat yang sedang mencari telinga. Demo bukan sekadar kerumunan orang bawa poster, teriak-teriak, atau menutup jalan. Demo itu cermin. Cermin yang kadang retak, tapi tetap memantulkan wajah bangsa kita.

Maraknya demo akhir-akhir ini jangan langsung dianggap bencana, karena pada dasarnya demo adalah tanda: rakyat masih punya harapan. Bayangkan kalau rakyat sudah benar-benar cuek, tak peduli lagi dengan apa yang terjadi di negeri ini—nah, itu baru gawat. Diamnya rakyat bisa lebih berbahaya daripada ributnya jalanan.

Namun di sisi lain, kita juga perlu belajar: bagaimana menyampaikan suara tanpa harus memecah belah? Bagaimana menyerap aspirasi tanpa harus menutup pintu dialog? Rakyat yang demo butuh pemerintah yang mau mendengar, pemerintah yang didemo butuh rakyat yang mau diajak bicara. Kalau dua-duanya keras kepala, yang hancur bukan hanya telinga, tapi masa depan.

Indonesia ini besar, dan tidak ada satu pun masalah yang selesai hanya dengan marah-marah. Tapi juga tidak ada perubahan yang lahir dari diam seribu bahasa. Maka demo seharusnya jadi jembatan—bukan jurang. Jadi alarm, bukan bom.

Maraknya demo hari-hari ini sebaiknya kita sikapi dengan hati dingin. Jangan buru-buru menghakimi siapa benar siapa salah. Mari lihat esensinya: ada sesuatu yang harus diperbaiki. Ada sesuatu yang harus didengar. Dan ada sesuatu yang harus kita benahi bersama.

Bangsa ini terlalu berharga untuk dipertaruhkan hanya dengan ego siapa paling keras bicara. Kita butuh ruang bersama. Butuh meja bundar, bukan panggung adu suara. Kalau demo bisa jadi pintu masuk untuk dialog yang lebih sehat, maka demo itu bukan musuh. Ia adalah tanda cinta rakyat pada tanah airnya.

Dan ingat, semakin keras rakyat bersuara, seharusnya semakin bijak telinga kita mendengar.