BANGSA HEBAT - Belakangan ini, ruang publik kita diramaikan oleh perdebatan antara penyanyi dan pencipta lagu yang menjadi tajuk utama di banyak media. Nama-nama besar seperti Agnes Monica dan Ahmad Dhani kembali mengemuka bukan karena kolaborasi musikal yang menginspirasi, melainkan karena perbedaan pendapat yang bersinggungan dengan hak dan interpretasi atas karya.
Namun, sebagai masyarakat yang sehat, kita justru perlu melihat kontroversi ini sebagai kesempatan untuk belajar dan membenahi sistem—bukan sekadar menikmati polemik atau menjatuhkan pihak tertentu.
Antara Hak Cipta dan Hak Ekspresi
Sebuah lagu adalah gabungan dari kreativitas pencipta (komposer dan penulis lirik) dan interpretasi artistik dari penyanyi. Pencipta lagu memiliki hak moral dan ekonomi atas karyanya, termasuk hak untuk diakui sebagai pencipta dan menerima royalti dari penggunaan karya tersebut. Ini tercantum dalam Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 di Indonesia.
Di sisi lain, penyanyi, terutama yang membawa karya tersebut ke panggung atau rekaman, juga memiliki kontribusi yang tidak bisa diremehkan. Mereka menjadikan karya itu hidup, dikenal, dan dinikmati oleh publik. Dalam banyak kasus, justru suara dan pembawaan sang penyanyi yang membuat lagu “meledak” di pasaran. Maka, muncul apa yang disebut sebagai hak terkait (related rights), di mana penyanyi berhak atas perlindungan tertentu terhadap performanya.
Pertanyaannya: siapa yang lebih “berhak” atas lagu? Jawabannya, dua-duanya punya hak masing-masing yang seharusnya berjalan beriringan, bukan bertabrakan.
Mencari Titik Temu, Bukan Titik Panas
Saat konflik antara pencipta lagu dan penyanyi mencuat ke permukaan, seperti dalam kasus Agnes Monica dan Ahmad Dhani, masyarakat dengan cepat terpecah. Ada yang membela sang pencipta dengan dalih orisinalitas, ada pula yang membela penyanyi karena merasa karyanya telah diberi nyawa baru. Namun, dari pada terjebak dalam kubu-kubuan, lebih baik kita bertanya: sistem seperti apa yang kita perlukan agar konflik ini tidak berulang?
Pertama, perlu ada kesadaran kolektif dari para pelaku industri musik bahwa karya bukan hanya milik satu pihak. Komunikasi yang terbuka, hitam di atas putih dalam kontrak, dan transparansi royalti adalah langkah awal yang sangat penting.
Kedua, publik juga perlu edukasi musik, agar tidak mudah terprovokasi oleh potongan informasi yang belum utuh. Ketika masyarakat memahami hak-hak pencipta dan penyanyi secara adil, maka kita akan cenderung mendorong rekonsiliasi, bukan perseteruan.
Ketiga, pihak media dan lembaga manajemen kolektif hak cipta sebaiknya hadir sebagai jembatan, bukan sebagai pemicu polemik. Ini adalah momentum untuk memperkuat sistem distribusi hak cipta di Indonesia yang selama ini sering dianggap lemah.
Solusi: Dari Industri ke Ekosistem
Industri musik kita sudah cukup matang secara jumlah, tetapi masih perlu banyak perbaikan dalam hal sistem dan etika. Kontroversi ini seharusnya tidak dilihat sebagai aib, tapi sebagai alarm sehat bahwa kita sedang bertumbuh. Layaknya tubuh yang demam saat infeksi, konflik ini menunjukkan bahwa ada yang belum seimbang, dan perlu penyembuhan sistemik.
Saya tidak ingin berpihak pada siapa pun, karena masing-masing pihak memiliki sumbangsih dan sudut pandangnya sendiri. Tapi saya percaya, semua orang yang terlibat di dunia musik—baik itu pencipta, penyanyi, produser, bahkan penikmat—pada dasarnya mencintai seni. Maka, mari kita jaga cinta itu tetap utuh dengan menjunjung rasa hormat, komunikasi, dan kolaborasi yang sehat.
Karena musik adalah bahasa jiwa, maka semestinya tak diisi oleh ego semata. Mari kita rawat karya dengan kejujuran, bukan pertengkaran.
0Komentar