BANGSAHEBAT.COM - Dalam pernikahan, seks seharusnya menjadi tempat paling aman untuk saling mencintai. Tapi bagaimana jika seks justru menjadi sumber tekanan? Bagaimana jika cinta berubah menjadi tuntutan — dan kamu tidak lagi merasa berharga, hanya sekadar objek pemuas?
Dera (bukan nama sebenarnya) adalah seorang istri yang tampak baik-baik saja dari luar, tapi menyimpan luka yang dalam. Hari itu, ia duduk di hadapan Dokter Cinta dengan suara lirih… dan cerita yang membuat suasana ruang konsultasi mendadak sunyi.
DIALOG: SEKS YANG TAK LAGI MEMBAHAGIAKAN
Dera (30-an):
"Saya bingung, Dok… apakah saya istri yang buruk kalau saya merasa muak? Suami saya minta seks 3 sampai 4 kali sehari. Kadang setelah itu, dia masih minta saya melayani oral, sampai keluar di mulut… dan saya harus menelan. Dia bilang itu kewajiban saya. Kalau saya menolak, dia marah, mendiamkan, bahkan mengancam akan mencari di luar."
Dokter Cinta: (menatap penuh empati, lalu perlahan berkata)
"Dera… kamu bukan istri buruk. Kamu wanita yang sedang terjebak dalam hubungan yang melampaui batas wajar. Tubuhmu bukan milik orang lain, bahkan bukan milik suamimu. Tubuhmu adalah milikmu, dan harus diperlakukan dengan cinta — bukan paksaan."
Dera:
"Tapi dia suami saya, Dok. Bukankah saya harus melayani? Saya takut kalau menolak terus, rumah tangga ini hancur."
Dokter Cinta:
"Melayani bukan berarti menyerahkan diri tanpa batas. Pernikahan dibangun atas dasar saling. Bukan soal siapa yang melayani lebih banyak, tapi siapa yang bisa menghargai batas dan kebutuhan satu sama lain.
Jika kamu merasa terpaksa, tertekan, bahkan jijik… itu tandanya ada yang salah. Dan yang salah bukan kamu."
MOTIVASI: CINTA TIDAK SEHARUSNYA MENYAKITKAN
Pernikahan bukan tiket bebas untuk memaksa. Seks seharusnya menyenangkan, menyembuhkan, dan mempererat. Tapi jika kamu merasa seperti dipakai, dipaksa, atau diabaikan perasaanmu, maka kamu sedang berada dalam situasi yang tidak sehat.
Cinta tanpa persetujuan adalah luka yang disamarkan sebagai pengorbanan.
Kamu boleh menolak. Kamu berhak berkata "tidak". Dan kamu pantas dicintai — dengan lembut, bukan dengan paksaan.
SOLUSI DARI DOKTER CINTA
1. Kenali bahwa ini bukan normal, apalagi sehat.
Frekuensi seks 3-4 kali setiap hari plus tuntutan oral terus-menerus adalah eksploitasi fisik, jika kamu tidak menikmatinya atau merasa terpaksa. Ini bukan gairah tinggi — ini kecanduan dan kontrol.
2. Bicarakan dengan serius — dalam kondisi tenang.
Katakan:
"Aku lelah, aku sedih, dan aku merasa tubuhku tidak dihargai. Aku butuh cinta, bukan tekanan."
Jika dia mencintaimu, dia akan mendengarkan. Kalau dia memaksamu, itu bukan cinta.
3. Jangan segan mencari bantuan profesional.
Hubungi psikolog pernikahan atau konselor. Jika perlu, ajak pasangan ikut. Tapi jika kamu takut, prioritaskan keselamatanmu dulu.
4. Jika ada unsur pemaksaan seksual, itu sudah bentuk kekerasan.
Pahami bahwa menurut hukum di Indonesia, pemaksaan hubungan seksual dalam pernikahan dapat termasuk dalam kekerasan seksual domestik.
5. Lindungi dirimu, cintai dirimu.
Jangan tunggu sampai tubuhmu hancur dan jiwamu hilang arah. Cinta yang sehat bukan membuatmu takut — tapi membuatmu tumbuh.
Jangan biarkan cinta berubah menjadi tekanan.
Jangan biarkan kewajiban menutupi jeritan luka yang kamu pendam. Kamu punya hak untuk dicintai dengan lembut, tidak dipaksa, dan dihormati sebagai manusia — bukan sekadar pemuas hasrat.
Dan kalau kamu tak tahu harus bicara pada siapa… datanglah ke ruang konsultasi Dokter Cinta. Di sini, luka tidak dihakimi. Di sini, suara hatimu didengar.
Konsultasi lewat email doktercintatanyadong@gmail.com, Akan dijawab oleh DOKTER CINTA melalui website ini dengan menyamarkan nama dan alamat tentunya.
0Komentar