BANGSAHEBAT.COM - Katanya, anak muda adalah harapan bangsa. Katanya, anak muda harus cinta negeri. Tapi coba kita tengok ke atas panggung kekuasaan—berapa banyak anak muda idealis yang benar-benar diberi kesempatan? Berapa banyak yang justru disuruh antre, menunggu giliran entah kapan, sementara kursi-kursi empuk sudah dilapisi nama keluarga?
Indonesia belakangan makin absurd. Di satu sisi, seminar-seminar nasional, webinar, talkshow motivasi, dan slogan kementerian semua mengarah ke: “Ayo pemuda, bangun bangsa!” Tapi di sisi lain, peluang strategis dan posisi penting justru dihiasi wajah-wajah yang tak asing. Mirip ayahnya, mirip pamannya, mirip kakaknya—dan kadang malah satu keluarga isi semua.
Bukan mau sinis. Tapi apa gunanya kita didorong mencintai tanah air kalau pada akhirnya negara ini dipagari hanya untuk kalangan tertentu?
Nepotisme yang Disamarkan Modernitas
Yang lebih lucu lagi, nepotisme zaman sekarang tampilannya makin rapi. Dikasih label "kompeten", "lulusan luar negeri", atau "aktif di organisasi A sampai Z". Tapi rekam jejak pengangkatan menunjukkan ada pola hubungan darah atau pertemanan yang lebih kuat dari sekadar CV.
Ini bukan soal iri. Ini soal keadilan.
Anak Muda Tak Kurang Hebat, Tapi Kurang ‘Koneksi’
Di kampus-kampus banyak anak muda brilian. Banyak yang idealismenya masih murni, gagasannya tajam, keberaniannya nyata. Tapi ketika mereka mencoba masuk sistem, pintunya seperti tertutup rapat. Yang bisa lewat adalah mereka yang sudah "kenal dalam".
Cinta Negeri Itu Harus Timbal Balik
Bangsa mau jujur: negara ini tidak bisa terus menyuruh anak mudanya mencintai negeri, sementara negeri sendiri tidak mencintai balik. Memberi kesempatan adalah bentuk cinta. Mendengarkan ide-ide segar anak muda adalah bentuk cinta. Tapi kalau semua posisi diisi oleh keluarga pejabat, cinta negeri jadi terasa seperti cinta bertepuk sebelah tangan.
Lalu, Haruskah Kita Menyerah?
Tentu tidak. Tapi kita juga harus berhenti naif. Anak muda tidak hanya butuh motivasi, tapi juga ruang. Anak muda tidak hanya butuh inspirasi, tapi juga keberpihakan. Saatnya negeri ini tidak hanya bicara soal masa depan cerah, tapi menciptakan sistem yang benar-benar adil untuk semua.
Kalau tidak, negara ini hanya akan jadi taman bermain dinasti politik, dan kita—rakyat biasa—hanya jadi penonton yang disuruh tepuk tangan.
Komentar0
Pastikan Selalu Berkomentar Yang Baik, Tidak Menyinggung Ras, Suku, Agama & Rasis