BANGSAHEBAT.COM - Di era digital ini, banyak masyarakat merasa terbatasi saat menyampaikan kritik. Dialog RBR kali ini mengupas fenomena ketika kritik dianggap sebagai tindakan membenci negara. Apakah ini wajar? Atau justru bahaya bagi demokrasi?
🧑🦱 RAMA:
Aku bingung, Bon. Aku nulis kritik soal kebijakan publik di medsos, eh langsung ada yang komen: "Kalau gak suka, minggat aja dari negara ini!"
🧔 BONO:
Haha… klasik. Kritik itu bukan berarti benci negara, Ra. Justru karena cinta, makanya kita berani kritik. Benci itu kalau diem aja, biarin semuanya rusak.
👩 RANTI:
Iya, Rama. Kalau kita diam, nanti malah jadi penonton kehancuran. Kritik itu vitamin untuk negara—bukan racun.
🧑🦱 RAMA:
Tapi kenapa ya, kritik kok dianggap ancaman? Harusnya kan dikritik itu biasa…
🧔 BONO:
Karena sebagian yang berkuasa kebanyakan nggak terbiasa dikritik. Mentalnya kayak kaca bening—mudah pecah.
👩 RANTI:
Padahal rakyat bayar pajak, lho. Harusnya pemerintah ya siap denger suara rakyat. Apalagi yang logis dan konstruktif.
🧑🦱 RAMA:
Berarti tugas kita terus edukasi, ya?
🧔 BONO:
Betul! Edukasi publik bahwa kritik adalah bagian dari cinta tanah air. Bukan makar.
👩 RANTI:
Aku usul: yuk bikin kampanye digital — "Kritik Itu Tanda Cinta". Biar makin banyak yang sadar.
RBR membahas bagaimana kritik yang konstruktif seharusnya dilihat sebagai bentuk cinta pada negara, bukan sebagai ancaman. Stigmatisasi terhadap kritik justru berbahaya bagi iklim demokrasi yang sehat.
Pastikan Selalu Berkomentar Yang Baik, Tidak Menyinggung Ras, Suku, Agama dan Rasis
DAFTARKAN DIRIMU MENJADI BAGIAN DARI BANGSA HEBAT DENGAN MENDAFTAR ID BANGSA HEBAT, ADA UNDIAN BERHADIAH DAN JUGA UANG JUTAAN RUPIAH SETIAP BULANNYA. DAFTAR KLIK DISINI atau Cek id.bangsahebat.com