Dialog RBR : Semua Merasa Paling Tertindas

BANGSAHEBAT.COM - Di tengah ruang publik yang semakin bising, kemarahan kini bukan lagi reaksi, melainkan identitas. Setiap kelompok merasa paling benar, paling disakiti, dan paling layak marah. Dalam dialog RBR kali ini, Rama, Bono, dan Ranti membedah fenomena “Semua Merasa Paling Tertindas”—sebuah kompetisi emosional yang diam-diam melelahkan demokrasi.

🎭 Dialog RBR

Ranti:
Aku bingung deh, Mas. Kenapa sekarang semua orang kelihatan marah? Sedikit-sedikit tersinggung, dikit-dikit merasa diserang.

Rama:
Mungkin karena marah itu tanda peduli, Ran. Kalau nggak marah, nanti dibilang apatis, nggak punya sikap.

Bono:
Nah, itu dia masalahnya. Sekarang marah dianggap bukti kepedulian, padahal sering kali cuma cara paling gampang buat merasa benar.

Ranti:
Jadi… marah itu belum tentu perjuangan, ya?

Bono:
Betul. Ada kemarahan yang lahir dari ketidakadilan, tapi ada juga yang dipelihara supaya kita selalu jadi korban dalam cerita sendiri.

Rama:
Tapi kalau nggak marah, nanti kita kalah suara dong, Bon?

Bono:
Yang bikin kalah itu bukan tenang, Ram. Yang bikin kalah itu ketika semua orang sibuk membuktikan dirinya paling tersakiti, sampai lupa menyelesaikan masalah.

Ranti:
Pantes ya… rasanya capek sendiri. Semua teriak, tapi nggak ada yang benar-benar dengar.

Bono:
Karena kemarahan yang dipelihara terus-menerus bukan lagi alat perubahan, tapi jadi alasan untuk berhenti berpikir.

Rama:
Jadi sebenarnya… yang perlu diperjuangkan bukan siapa paling korban, tapi siapa paling mau jujur melihat duduk perkara.

Bono:
Tepat. Tidak semua kemarahan adalah perjuangan. Kadang, itu cuma cara elegan untuk lari dari tanggung jawab berpikir.

Dialog RBR ini menyoroti fenomena sosial ketika setiap kelompok merasa paling tertindas dan paling berhak marah. Melalui percakapan Ranti, Rama, dan Bono, ditegaskan bahwa kemarahan tidak selalu identik dengan kepedulian, dan budaya memelihara rasa tersinggung justru mengaburkan upaya mencari solusi bersama.